Salafisme dan Penggunaan Hadis Dha’if

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Fiqi Halwaini
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta



Aliran Wahabi, atau yang dikenal dengan aliran Salafi, memiliki keterkaitan yang identik dengan Islam garis keras. Dalam perkembangannya, aliran ini menimbulkan banyak sekali kontroversi bahkan konflik di tengah masyarakat. Pasalnya, nilai-nilai yang di usung seringkali bertabrakan dengan norma maupun kebudayaan atau dengan nilai-nilai kemanusiaan modern yang moderat serta perkembangan peradaban dan peradaban Islam yang semakin maju pada saat ini.

Tulisan ini akan mengulas terkait dengan kemunculan Salafi Wahabi, bagaimana sejarah pokok ajarannya, serta bagaimana penggunaan hadis dha’if menurut Salafi Wahabi. Sebelum mengupas pembahasan terkait dengan ajaran pokok Salafi Wahabi serta bagaimana aliran tersebut menggunakan sebuah hadis dha’if, kita perlumengetahui asal mula munculnya Salafi Wahabi.

Kemunculan Salafi Wahabi

Salafi adalah penisbatan kepada as-salaf. Secara bahasa, salaf memiliki arti orang-orang yang mendahului atau yang hidup pada zaman sebelumnya. Adapun makna terminologi dari al-Salaf adalah generasi yang di batasi oleh sebuah penjelasan dari Rasulullah SAW salam hadisnya: “sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi’ at-tabi’in)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada permasalahan terkait dengan kata salafi itu sendiri. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap muslim akan mengakui legalitas kedudukan dari para sahabat Nabi, tabi’in, maupun tabi’ at-tabi’in. Dengan kata lain semua umat Islam sebenarnya memiliki kadar ke-salafi-an dalam dirinya, meskipun ia tidak pernah memberikan pengakuan bahwa ia adalah seorang salafi. Hal ini dikarenakan yang dimaksud dengan salafi adalah Islam itu sendiri.

Istilah salafi ini mulai tercemar, dikarenakan terjadinya propaganda yang terjadi. Istilah salafi saat ini menjadi mengarah kepada kelompok gerakan Islam tertentu, d imana mereka mengklaim dirinya sebagai satu-satunya kelompok salaf. Tidak hanya itu, kelompok ini juga cenderung menyimpang dari ajaran Islam yang dianut oleh umat Islam itu sendiri. Kelompok yang mengklaim dirinya sebagai salafi itu sebelumnya dikenal dengan nama Wahabi. Jadi keduanya, baik Wahabi dan Salafi, tidak memiliki perbedaan. Wahabi sendiri di Jazirah Arab dikenal dengan Wahabiyyah Hanbaliyyah. Dan ketika Wahabi tersebut di ekspor ke luar Saudi, mereka menamakan diri sebagai Salafi.

Terdapat beberapa tokoh yang membongkar kedok salafi tersebut. Misalnya adalah Prof. Dr, Said Ramadhan al-Buthi. Beliau mengatakan bahwa Wahabi tersebut berganti nama menjadi Salafi atau Ahlusunnah tetapi tidak diikuti oleh wal-jama’ah. Alasan mereka mengganti nama menjadi Salafi adalah karena mereka risih disebut sebagai Wahabi. Nama Wahabi sendiri pada saat itu dipandang sebagai suatu hal yang negatif. Tidak hanya itu, Prof Ali Jum’ah juga mengatakan bahwa faham Salafi Wahabi itu sesat. Beliau juga mengatakan bahwa Salafi Wahabi mengganti nama untuk mengelabui umat Islam bahwa ajaran Wahabi tersebut tidak bersumber dari Muhammad Ibnu Abdul Wahab, melainkan dari salaf. Tujuannya adalah supaya mereka aman untuk menyebarkan dakwahnya.

Sejarah Pokok Ajaran Salafi Wahabi

Aliran Salafi Wahabi didirikan oleh Abu Abdillah Muhammad Ibn Rasyid al Tamimi atau dikenal dengan Muhammad Ibnu Al-Wahab. Tujuan dan arah gerakan dari Wahabi adalah mengembalikan kebudayaan Islam kepada Al-Qur’an dan sunnah. Dan ciri-ciri dari Wahabi tersebut sebagai berikut: pertama, anti terhadap perbuatan yang berbau bid’ah di kalangan umat Islam. Kedua pemahaman yang harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ketiga, tekstual dalam memahami dan kaku dalam memahami suatu dalil dimana harus bersandar secara dhahir kepada Al-Qur’an dan hadis. Keempat, mereka tidak mempercayai kelompok manapun, karena akan menjadi ketidakadilan dalam beragama. Jadi dapat disimpulkan bahwasanya Wahabi tersebut kembali kepada ajaran Al-Qur’an, hadis dan pendapat para sahabat. Mereka tidak percaya terhadap pendapat manapun.

Salah satu agenda pokok dari ajaran Salafi Wahabi tersebut adalah mereka menafsirkan sesuatu dengan cara tekstual dan mempertahankan kemurnian praktik yang mengaku pada fase awal Nabi dan para sahabat yang terekam dalam Sunnah dan hadis. Apapun yang dikatakan oleh teks (Al-Qur’an dan hadis) harus diikuti, dan apapun yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan hadis maka wajib dibuang meskipun itu positif, termasuk tradisi lokal. Jadi, teks merupakan pokok ajaran sebagai sumber rujukan bagi mereka apakah praktik itu bagian dari Islam atau bukan, sebaliknya. Jika praktik yang tidak tertulis dalam Al-Qur’an dan hadis, maka secara otomatis diklaim bid’ah. Wahabisme menentang keras praktik bid’ah karena menciptakan amal baru tanpa petunjuk dari Nabi.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ajaran Wahabi tersebut kaku dan tidak kompromi terhadap sumber di luar Islam. Hal tersebut juga mengubah prilaku seseorang jamaah yang ikut di dalamnya. Mereka meninggalkan identitas lokal dan beralih pada identitas baru ke-Wahabi-an seperti menghindari ziarah makam, menolak tahlilan, menolak peringatan hari kematian yang ditetapkan dalam budaya Jawa, menggunakan jubah, berjenggot panjang, dan lain-lain. Kelompok yang berseberangan dengan Wahabi akan ditentang, diluruskan, bahkan tidak jarang dakwah Wahabi berakhir dengan kekerasan sosial.

Pandangan Salafi terhadap Hadis Dha’if

Dalam memandang hadis, kelompok Salafi (Wahabi) memperlihatkan sikap yang sangat ketat. Mereka tidak mau menerima selain hadis shahih. Namun sayangnya, klaim shahih yang mereka lontarkan terhadap sebuah hadis sering sebatas pada kepentingan mereka saja. Sering sekali kelompok tersebut ditemukan mengklaim sebuah hadis yang sahih sebagai dhaif apabila tidak sesuai dengan ajaran mereka. Sebaliknya mereka mengklaim hadis dha’if sebagai hadis shahih apabila sesuai dengan ajaran mereka. Hal ini dijelaskan dalam pendapat Abu Nafisah dalam bukunya bahwa Ibnu Taimiyah mendaifkan sekitar 11 hadis yang menunjukkan keutamaan Sayyidina ‘Ali, padahal menurut ulama hadis-hadis tersebut mutawatir, shahih atau hasan.

Tidak hanya itu, salah satu tokoh Wahabi, yaitu Nashiruddin al-Albani juga gemar mensahihkan hadis dhaif apabila sesuai dengan akidahnya. Diantara pendapat sahabat yang di dha’ifkan oleh al-Albani adalah atsar tawasul Ibnu ‘Umar:

“Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliyallah ‘anhu bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “sebutkanlah orang yang paling anda cintai!” Lalu umar berkata: “Ya Muhammad” Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”

Hadis tersebut dengan tegas menyatakan akan kebolehan tawasul dan istighatsah dengan dzat nabi Muhammad setelah beliau wafat. ‘Abdullah bin ‘Umar sendiri melakukan hal tersebut setalah Rasulullah wafat. Hadis tersebut menunjukkan bahwa bertawasul dan ber-istighasah dengan Rasulullah setelah beliau wafat bukanlah termasuk perbuatan yang syirik meskipun dengan menggunakan redaksi nida’ (memanggil).

Kesimpulan

Dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dan arah gerakan dari Wahabi adalah mengembalikan kebudayaan Islam kepada Al-Qur’an dan sunnah. Mereka tidak menerima apapun selain bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis, dan dalam menafsirkan sesuatu aliran tersebut sangat tekstual dan mempertahankan kemurnian pada fase awal nabi dan para sahabat. Ajaran Salafi Wahabi tersebut sangatlah kaku dan mereka tidak kompromi terhadap sumber di luar Islam. Menurut mereka, apapun yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah harus dibuang meskipun itu positif. Sebaliknya, apabila praktik tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunnah maka mereka mengklaim hal tersebut dengan bid’ah.

 

Referensi

Fuad, Jauhar. Penetrasi Neo Salafisme dalam Lembar Kerja Siswa Di Madrasah. Edited by Asyari Masduki. Cet. 1. Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016.

Idahram, Syaikh. Sejarah Berdarah Sekte Salafi dan Wahabi : Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama. Edited by Irwansyah. Cet 1. Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2011.

———. Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi. Edited by Irwansyah. Cet 1. Yogyakarta: PT.

Unggul Purnomo Aji, Kerwanto. “Teologi Wahabi: Sejarah, Pemikiran dan Perkembangannya.” EL-Adabi : Jurnal Studi Sslam Vol.2 (2023)           

Commins, David. 2009. The Wahhabi Mission and Saudi Arabia. London dan New York: I.B. Tauris.

Baca juga:
Labels : #Mahasiswa ,#Opini ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar