Aliran Wahabi, atau yang dikenal dengan aliran Salafi,
memiliki keterkaitan yang identik dengan Islam garis keras. Dalam perkembangannya,
aliran ini menimbulkan banyak sekali kontroversi bahkan konflik di tengah
masyarakat. Pasalnya, nilai-nilai yang di usung seringkali bertabrakan dengan
norma maupun kebudayaan atau dengan nilai-nilai kemanusiaan modern yang moderat
serta perkembangan peradaban dan peradaban Islam yang semakin maju pada saat
ini.
Tulisan ini akan mengulas terkait dengan kemunculan
Salafi Wahabi, bagaimana sejarah pokok ajarannya, serta bagaimana penggunaan
hadis dha’if menurut Salafi Wahabi. Sebelum mengupas pembahasan terkait dengan
ajaran pokok Salafi Wahabi serta bagaimana aliran tersebut menggunakan sebuah
hadis dha’if, kita perlumengetahui asal mula munculnya Salafi Wahabi.
Kemunculan
Salafi Wahabi
Salafi adalah
penisbatan kepada as-salaf. Secara bahasa, salaf memiliki arti
orang-orang yang mendahului atau yang hidup pada zaman sebelumnya. Adapun makna
terminologi dari al-Salaf adalah generasi yang di batasi oleh sebuah
penjelasan dari Rasulullah SAW salam hadisnya: “sebaik-baik manusia adalah
(yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang
mengikuti mereka (tabi’ at-tabi’in)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena
itu, sebenarnya tidak ada permasalahan terkait dengan kata salafi itu
sendiri. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap muslim akan mengakui
legalitas kedudukan dari para sahabat Nabi, tabi’in, maupun tabi’ at-tabi’in. Dengan
kata lain semua umat Islam sebenarnya memiliki kadar ke-salafi-an dalam
dirinya, meskipun ia tidak pernah memberikan pengakuan bahwa ia adalah seorang salafi.
Hal ini dikarenakan yang dimaksud dengan salafi adalah Islam itu
sendiri.
Istilah salafi
ini mulai tercemar, dikarenakan terjadinya propaganda yang terjadi. Istilah salafi
saat ini menjadi mengarah kepada kelompok gerakan Islam tertentu, d imana
mereka mengklaim dirinya sebagai satu-satunya kelompok salaf. Tidak hanya itu,
kelompok ini juga cenderung menyimpang dari ajaran Islam yang dianut oleh umat
Islam itu sendiri. Kelompok yang mengklaim dirinya sebagai salafi itu sebelumnya
dikenal dengan nama Wahabi. Jadi keduanya, baik Wahabi dan Salafi, tidak
memiliki perbedaan. Wahabi sendiri di Jazirah Arab dikenal dengan Wahabiyyah
Hanbaliyyah. Dan ketika Wahabi tersebut di ekspor ke luar Saudi, mereka
menamakan diri sebagai Salafi.
Terdapat
beberapa tokoh yang membongkar kedok salafi tersebut. Misalnya adalah Prof. Dr,
Said Ramadhan al-Buthi. Beliau mengatakan bahwa Wahabi tersebut berganti nama
menjadi Salafi atau Ahlusunnah tetapi tidak diikuti oleh wal-jama’ah.
Alasan mereka mengganti nama menjadi Salafi adalah karena mereka risih disebut
sebagai Wahabi. Nama Wahabi sendiri pada saat itu dipandang sebagai suatu hal
yang negatif. Tidak hanya itu, Prof Ali Jum’ah juga mengatakan bahwa faham
Salafi Wahabi itu sesat. Beliau juga mengatakan bahwa Salafi Wahabi mengganti
nama untuk mengelabui umat Islam bahwa ajaran Wahabi tersebut tidak bersumber
dari Muhammad Ibnu Abdul Wahab, melainkan dari salaf. Tujuannya adalah supaya
mereka aman untuk menyebarkan dakwahnya.
Sejarah
Pokok Ajaran Salafi Wahabi
Aliran
Salafi Wahabi didirikan oleh Abu Abdillah Muhammad Ibn Rasyid al Tamimi atau
dikenal dengan Muhammad Ibnu Al-Wahab. Tujuan dan arah gerakan dari Wahabi
adalah mengembalikan kebudayaan Islam kepada Al-Qur’an dan sunnah. Dan
ciri-ciri dari Wahabi tersebut sebagai berikut: pertama, anti terhadap
perbuatan yang berbau bid’ah di kalangan umat Islam. Kedua pemahaman
yang harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ketiga, tekstual dalam
memahami dan kaku dalam memahami suatu dalil dimana harus bersandar secara dhahir
kepada Al-Qur’an dan hadis. Keempat, mereka tidak mempercayai kelompok
manapun, karena akan menjadi ketidakadilan dalam beragama. Jadi dapat
disimpulkan bahwasanya Wahabi tersebut kembali kepada ajaran Al-Qur’an, hadis
dan pendapat para sahabat. Mereka tidak percaya terhadap pendapat manapun.
Salah satu
agenda pokok dari ajaran Salafi Wahabi tersebut adalah mereka menafsirkan
sesuatu dengan cara tekstual dan mempertahankan kemurnian praktik yang mengaku
pada fase awal Nabi dan para sahabat yang terekam dalam Sunnah dan hadis.
Apapun yang dikatakan oleh teks (Al-Qur’an dan hadis) harus diikuti, dan apapun
yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan hadis maka wajib dibuang meskipun itu
positif, termasuk tradisi lokal. Jadi, teks merupakan pokok ajaran sebagai
sumber rujukan bagi mereka apakah praktik itu bagian dari Islam atau bukan,
sebaliknya. Jika praktik yang tidak tertulis dalam Al-Qur’an dan hadis, maka
secara otomatis diklaim bid’ah. Wahabisme menentang keras praktik bid’ah karena
menciptakan amal baru tanpa petunjuk dari Nabi.
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, ajaran Wahabi tersebut kaku dan tidak kompromi terhadap
sumber di luar Islam. Hal tersebut juga mengubah prilaku seseorang jamaah yang
ikut di dalamnya. Mereka meninggalkan identitas lokal dan beralih pada
identitas baru ke-Wahabi-an seperti menghindari ziarah makam, menolak tahlilan,
menolak peringatan hari kematian yang ditetapkan dalam budaya Jawa, menggunakan
jubah, berjenggot panjang, dan lain-lain. Kelompok yang berseberangan dengan Wahabi
akan ditentang, diluruskan, bahkan tidak jarang dakwah Wahabi berakhir dengan
kekerasan sosial.
Pandangan
Salafi terhadap Hadis Dha’if
Dalam memandang hadis, kelompok Salafi (Wahabi)
memperlihatkan sikap yang sangat ketat. Mereka tidak mau menerima selain hadis
shahih. Namun sayangnya, klaim shahih yang mereka lontarkan terhadap sebuah hadis
sering sebatas pada kepentingan mereka saja. Sering sekali kelompok tersebut ditemukan
mengklaim sebuah hadis yang sahih sebagai dhaif apabila tidak sesuai dengan
ajaran mereka. Sebaliknya mereka mengklaim hadis dha’if sebagai hadis shahih
apabila sesuai dengan ajaran mereka. Hal ini dijelaskan dalam pendapat Abu
Nafisah dalam bukunya bahwa Ibnu Taimiyah mendaifkan sekitar 11 hadis yang
menunjukkan keutamaan Sayyidina ‘Ali, padahal menurut ulama hadis-hadis
tersebut mutawatir, shahih atau hasan.
Tidak hanya itu, salah satu tokoh Wahabi, yaitu Nashiruddin
al-Albani juga gemar mensahihkan hadis dhaif apabila sesuai dengan akidahnya.
Diantara pendapat sahabat yang di dha’ifkan oleh al-Albani adalah atsar
tawasul Ibnu ‘Umar:
“Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliyallah
‘anhu bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang
hadir mengatakan kepada beliau: “sebutkanlah orang yang paling anda cintai!”
Lalu umar berkata: “Ya Muhammad” Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”
Hadis tersebut dengan tegas menyatakan akan kebolehan
tawasul dan istighatsah dengan dzat nabi Muhammad setelah beliau wafat. ‘Abdullah
bin ‘Umar sendiri melakukan hal tersebut setalah Rasulullah wafat. Hadis
tersebut menunjukkan bahwa bertawasul dan ber-istighasah dengan
Rasulullah setelah beliau wafat bukanlah termasuk perbuatan yang syirik
meskipun dengan menggunakan redaksi nida’ (memanggil).
Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dan arah gerakan dari Wahabi adalah
mengembalikan kebudayaan Islam kepada Al-Qur’an dan sunnah. Mereka tidak
menerima apapun selain bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis, dan dalam
menafsirkan sesuatu aliran tersebut sangat tekstual dan mempertahankan
kemurnian pada fase awal nabi dan para sahabat. Ajaran Salafi Wahabi tersebut
sangatlah kaku dan mereka tidak kompromi terhadap sumber di luar Islam. Menurut
mereka, apapun yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah harus dibuang
meskipun itu positif. Sebaliknya, apabila praktik tersebut tidak terdapat dalam
Al-Qur’an maupun sunnah maka mereka mengklaim hal tersebut dengan bid’ah.
Referensi
Fuad,
Jauhar. Penetrasi Neo Salafisme dalam Lembar Kerja Siswa Di Madrasah.
Edited by Asyari Masduki. Cet. 1. Jakarta: Kementerian Agama Republik
Indonesia, 2016.
Idahram, Syaikh. Sejarah Berdarah Sekte Salafi dan
Wahabi : Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama. Edited by
Irwansyah. Cet 1. Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2011.
———. Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi.
Edited by Irwansyah. Cet 1. Yogyakarta: PT.
Unggul Purnomo Aji, Kerwanto. “Teologi Wahabi:
Sejarah, Pemikiran dan Perkembangannya.” EL-Adabi : Jurnal Studi Sslam
Vol.2 (2023)
Commins, David. 2009. The Wahhabi Mission and Saudi Arabia. London dan New York: I.B. Tauris.