
Dalam pidato pengukuhannya, Nurun Najwah mengatakan:
“… saya akan menjelaskan bahwa mendefinisikan
perempuan sebagai “bukan manusia merdeka” berbasis teks hadis masih massif
dalam masyarakat patriarkhi, dalam bentuk yang beragam dan dalam persentase
yang bervariasi.”
Begitu kutipannya dalam pidato pengukuhan guru besar atau profesor dalam bidang ilmu hadis pada 13 September 2023 di gedung Multipurpose Amin Abdullah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia menulis pidato pengukuhannya dengan judul “Dehumanisasi Perempuan dalam Bingkai Agama (Hadis).” Menurutnya, bentuk dehumanisasi sangat banyak. Ragam bentuk tidak memanusiakan perempuan yang terjadi di masyarakat, memiliki bentuk yang bervariasi sesuai lintas sosio-kultural, geografis, strata pendidikan, ekonomi, politik, dsb. Dehumanisasi perempuan selalu bersumber dari tiga hal yakni; (1) pemahaman agama (tafsir, syarah atau pemahaman hadis, fiqh); hukum positif tertulis (Undangundang, PP, Inpres); dan tidak tertulis (hukum adat), (2) kultur masyarakat, dan (3) pembuat dan penegak hukum.
Dehumanisasi terhadap perempuan termanifestasi dalam lima diskriminasi:
(1) subordinasi (dianggap lebih rendah atau tidak penting), perempuan dianggap
irasional, emosional, dan tidak memiliki kapabilitas dalam posisi penting; (2) marjinalisasi
(pemiskinan), secara ekonomi dinilai lebih rendah; (3) stereotipe pelabelan
negatif terhadap kaum perempuan, sebagai pihak yang salah dan bermasalah (4)
violence; legalitas berbagai bentuk kekerasan verbal; fisik (pemukulan, pemerkosaan
atau penganiayaan) maupun kekerasan psikologis (pelecehan dan penafian otonomi
perempuan atau penciptaan ketergantungan); dsb; (5) double burden (beban
ganda) adanya beban kerja domestik yang lebih banyak bagi perempuan.
Ragam dehumanisasi dalam hadis antara lain (1) Subordinasi, tidak bisa
menjadi subyek yang mandiri (tidak bisa melakukan akad nikah sendiri, tidak
bisa menjadi wali nikah, saksi nikah, diposisikan sebagai obyek (laki-laki yang
berhak memilih; waktu memilih calon isteri harus dilihat fisiknya, istri harus
subur dan dilihat status gadisnya; infak, menerima tamu, keluar rumah harus
izin suami). (2) Kekerasan (violence) secara psikis maupun fisik, seperti
aturan tentang nikah mut’ah, nikah sirri, istri harus patuh secara total kepada
suami, perintah sujud isteri kepada suaminya, obyek seks suami, hak suami
mentalaq istri; hak ruju’ milik suami; kebolehan memukul isteri; ḍihār; li‘ān;
nusyūz; poligami. (3) Marjinalisasi, (pembagian secara kaku wilayah domestik
dan publik; hanya laki-laki yang berhak mencari nafkah; kepala keluarga harus
laki-laki; warisan yang lebih sedikit dan tidak memiliki hak ‘aṣabah;
aqiqah yang lebih kecil; ‘iddah, ihdād; memiliki andil lebih besar dalam
menentukan jenis kelamin anak; (4) Beban ganda/double burden, sebagai
perempuan karir, memiliki kewajiban ganda, domestik dan publik harus
ditanggung. (5) Pelabelan negatif/stereotipe (anak zina dinisbatkan kepada
perempuan; khul‘u hak istri tetapi dianggap tercela, dsb).
Najwah juga menjelaskan jika pemahaman agama yang diinterpretasikan
secara tekstual, sebagian, dan tidak bersejarah yang diperkenalkan oleh
berbagai kalangan dalam kegiatan keagamaan melalui berbagai jenis tulisan dalam
buku, media cetak, atau ceramah yang disampaikan oleh para da’i/ulama melalui media
audio, audio-visual, internet, dan lainnya, telah memperkuat pandangan yang
tetap mengenai hal ini. Tradisi, perilaku, hukum, pemikiran, dan keyakinan yang
memberikan preferensi kepada laki-laki (yang didominasi oleh pria) telah
mengurangi hak-hak perempuan sebagai individu, baik dalam hal materi maupun
non-materi. Dalam konteks pernikahan, banyak perempuan yang kehilangan
kemampuan untuk mengendalikan hidup mereka sendiri karena cara hidup mereka
telah dibangun oleh masyarakat dalam nama agama, dari dan untuk laki-laki.
Menurutnya, pandangan yang dehumanis ini tidak hanya disampaikan oleh
laki-laki, namun perempuan juga mengamininya. Misalnya ada tiga da’iyah yang ikut
menyebarkan pandangan tersebut seperti Mamah Dedeh (Dedeh Rosdiana), dr. Aisyah
Dahlan dan Dr. Oki Setiana Dewi melalui akun media sosial masing-masing. Tiga da’iyah
tersebut melakukan tiga bentuk dehumanisasi terhadap perempuan, yakni
subordinasi, kekerasan dan stereotipe.
Menurut Najwah, membaca teks-teks hadis yang berkaitan dengan perempuan harus
dimulai dengan memahami konteks masa pra-Islam, di mana status dan kedudukan
perempuan sangatlah memprihatinkan. Beberapa konteks tersebut antara lain perempuan
dipandang bukan sebagai manusia, tidak memiliki hak apapun, dan diperlakukan
layaknya sebuah benda, ditindas, dijadikan tawanan, bahkan dikomersialkan, mengubur
bayi perempuan mereka hidup-hidup dikarenakan beberapa alasan, di antaranya
cara hidup mereka yang senantiasa berpindah-pindah di gurun pasir, menjadikan
perempuan lebih banyak menjadi beban, karena fisiknya terlalu lemah dalam
menghadapi alam. Di samping itu jumlah perempuan harus dikurangi untuk
mengurangi beban secara ekonomi maupun politik dan sosial, karena anak-anak dan
perempuan dari pihak yang kalah akan menjadi budak milik suku pemenang setiap
peperangan antar suku, dipaksa kawin, diperlakukan semena-mena oleh suami, dipoligami
tanpa batas dan tanpa syarat, disetubuhi (budak) untuk dijual anaknya, perempuan
yang berpisah dari suaminya harus menjalani ‘iddah selama setahun dengan
dikurung dalam kamar yang pengap, tidak boleh menyentuh sesuatu, memakai celak,
wewangian, memotong kuku, menyisir rambut dan aktivitas lainnya.
Hal ini berubah total ketika Rasulullah datang. Dalam berbagai sabdanya
Nabi memerintahkan untuk tidak membunuh bayi perempuan mereka, serta mengancam
mereka dengan siksa neraka. Sebaliknya janji surga diberikan kepada orang-orang
memperlakukan anak perempuannya dengan baik. Secara demonstratif, untuk melawan
tradisi yang tidak humanis tersebut, Nabi membanggakan anak-anak perempuannya dengan
menggendongnya di depan umum serta memberi contoh bagaimana beliau
memperlakukan putri-putrinya, Ruqayyah, Ummi Kulsum dan Fatimah dengan sangat
baik, di tengah masyarakat yang malu memiliki anak perempuan. Allah juga
mentakdirkan semua anak laki-laki Nabi Muhammad meninggal dalam usia balita.
Di akhir penjelasan, ia menulis:
“Kepada kaum perempuan di ruangan ini, saya ingin menyampaikan secara khusus, berjuanglah untuk tetap dalam kesadaran sepenuhnya sebagai manusia, yang diciptakan fī aḥsan taqwīm, dan bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan kepada-Nya. Pintu surga, tidak pernah diletakkan pada kaki siapa pun. Pintu surga ada pada setiap kebaikan yang bisa kita lakukan di setiap nafas kehidupan yang kita hirup. Kepada kaum laki-laki di ruangan ini, saya ingin menyampaikan, perlakukan perempuan sebagai manusia yang seharusnya, kalau tidak atas nama saudara dan anak perempuan, setidaknya atas nama ibu, yang berjasa dalam hidup kita, pasti seorang perempuan.”
Dari Sarana Menuju Tujuan
Beberapa pandangan Nurun Najwah tentang pemahaman hadis-hadis terkait
perempuan merupakan upaya untuk beralih dari sarana (wasīlah, mutaghayyir)
menuju tujuan (ghāyah, ṡawābit). Upaya yang dilakukan oleh Rasulullah
adalah bentuk-bentuk formal dalam memperjuangkan dan membebaskan perempuan yang
tidak dimanusiakan. Pandangan dehumanisasi yang dilakukan oleh para penulis
atau penceramah terjadi karena mereka kurang memahami ide moral yang dibawa
oleh Rasulullah. Mereka memahami teks secara tekstual, ahistoris dan tidak
mengakomodir perubahan ‘illat hukum yang terus selalu berubah dan
bergerak dinamis.
Padahal dalam pemahaman matan hadis, juga isnad tentunya, harus
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Hal ini digulirkan oleh Ibn
al-Shalah (w. 643 H) yang mengatakan bahwa kajian hadis harus “qābil li
al-tanwī‘”, selalu bervariasi, dalam jumlah yang tak terbatas (ilā mā lā
yuḥṣā). Situasi dan kondisi terkait isnad dan matan tidak terbatas, tidak tunggal
dan tidak stagnan. Oleh karena itu, pemahaman hadis yang ada pada zaman
sahabat, tabiin dan seterusnya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
ada, dengan memprioritaskan tujuan dari teks hadis yang digunakan.
Menggunakan pemahaman pada zaman abad pertengahan yang tidak ada
fasilitas email dan berbagai berkas tidak sama dengan pemahaman sekarang yang
sudah serba berubah dan tanpa kertas. Kalau dulu syarah dari Muwaṭṭa’ Mālik hanya
bisa dibaca dan dikaji oleh murid dan kolega penulis sendiri, dan beredar di
kalangan dan daerah terbatas, maka sekarang semua orang bisa membacanya dengan
kitab yang sudah dipindai dan diunggah ke internet. Oleh karena itu, tidak
heran bila dulu orang lebih mementingkan mendengar dan membaca langsung kepada
penulis atau muridnya, daripada melihat tulisannya secara langsung yang tidak
dapat diverifikasi dan dilegitimasi kebenaran tulisan tersebut. Berbeda dengan sekarang
yang mana semua oleh lebih mementingkan tulisan yang mempunyai nomor buku
standar internasional (ISBN) lengkap dengan nama penulis, halaman, penerbit beserta
email, website dan kotanya, seri, penyunting atau penerjemah, tahun terbit daripada
mendengar dan membacakan naskah langsung di hadapan penulisnya.
Oleh karena itu, dehumanisasi perempuan yang ada, adalah akibat tidak
adanya perkembangan pemahaman yang mendasarkan pada situasi dan kondisi serta ‘illat
hukum di dalam hadis. Membaca syarah hadis tanpa mengetahui perubahan konteks
dulu dan sekarang, atau bahkan memahami hadis secara tekstual, akan melahirkan
pemahaman bias, tunggal dan kaku serta akan cenderung menyalahkan orang yang berbeda
pandangan. Di samping itu, karya syarah hadis yang ada masih didominasi oleh
laki-laki, dimana perempuan harusnya sudah mempunyai kemampuan yang sama dalam
menulis syarah hadis.