Dalam salah satu bab dalam ‘ulum al-Qur’an, al-Zarkasyi
dan al-Suyuthi menulis tentang khawashsh al-Qur’an (khasiat-khasiat
Alquran). Dalam bab ini ini, keduanya sepakat bahwa sudah ada beberapa ulama
yang menulis tentang khasiat Alquran seperti al-Tamimi, al-Ghazali, dan
al-Yafi’i. Khawashsh al-Qur’an berbicara tentang bagaimana Alquran,
ataupun bagian surat dan ayat-ayatnya, mempunyai khasiat tertentu ketika dibaca
sendiri atau dibacakan pada obyek tertentu. Hal seperti ini bukanlah hal yang
irasional atau klenik, tapi lebih ke eksperimen yang telah dilakukan oleh para
ulama terdahulu.
1. Eksperimen Bacaan Alquran
Al-Suyuthi mengatakan bahwa khasiat yang muncul
dari bacaan Alquran merupakan eksperimen orang-orang shalih (tajarib
al-shalihin). Khasiat ini meliputi khasiat yang bersifat fisik (seperti menawarkan
racun) dan psikis (seperti mengusir setan). Sedangkan ayat yang dibaca bisa
utuh satu surat atau ayat-ayat tertentu dalam surat-surat tertentu. Dalam hal
ini, masyarakat Muslim di Indonesia sudah terbiasa mempraktekkan hal-hal
seperti itu. Mereka akan membaca surat al-Fatihah untuk acara atau hajat
tertentu, tidak hanya untuk keberkahannya, tapi juga khasiatnya yang dianggap
lebih cepat tercapai. Di samping itu, ada juga ayat favorit seperti ayat-ayat
di awal surat al-Baqarah, ayat al-Kursi, surat al-Ikhlash, al-Falaq, al-Nas,
dan lainnya.
Ayat dan surat tersebut, sebagaimana banyak
ditemukan dalam atsar sahabat maupun tabiin, lazim dipraktekkan di Indonesia,
baik untuk menjaga diri ketika tidur, tahlilan dan lain sebagainya. Ayat bismillahi
majreha wa mursaha juga biasa digunakan untuk ketika bepergian. Akhir surat
al-Kahfi digunakan untuk bisa bangun tengah malam guna melaksanakan tahajud.
Ketika rumah banyak dikirimi sihir dan makhluk berwujud aneh, KH. Muhammadun
Pondowan Tayu Pati melanggengkan untuk membaca surat Yunus ayat 81 untuk
mengusir sihir di akhir shalat wajib. Hal ini juga diteruskan ke anak cucu
beliau.
Oleh karena itu, eksperimen bacaan Alquran yang
telah terbukti berkhasiat telah lama dilakukan oleh kanjeng Nabi dan ulama
salaf, dari sahabat hingga tabiin dan dipraktekkan sampai sekarang di
Indonesia. Bahkan di Indonesia sendiri, banyak sekali para ulama yang melakukan
tajarib terhadap ayat-ayat tertentu dan memang terbukti khasiatnya.
Al-Suyuthi sendiri kemudian menukil al-Nawawi dari
al-Majmu’, yang memunculkan persoalan fikih: apakah ketika ayat Alquran
ditulis di suatu tempat, dan kemudian dibasuh dengan air, dan diminumkan ke
orang yang sakit, apakah diperbolehkan? Ada pro kontra, namun al-Nawawi memilih
bahwa hal tersebut diperbolehkan.
Tentang eksperimen ini, al-Zarkasyi menetapkan
syarat dan ketentuan sebagaimana dalam kitabnya:
هَذَا النَّوْعُ وَالَّذِي قَبْلَهُ لَنْ يَنْتَفِعَ
بِهِ إِلَّا مَنْ أَخْلَصَ لِلَّهِ قَلْبَهُ وَنِيَّتَهُ وَتَدَبَّرَ الْكِتَابَ
فِي عَقْلِهِ وَسَمْعِهِ وَعَمَّرَ بِهِ قَلْبَهُ وَأَعْمَلَ بِهِ جَوَارِحَهُ
وَجَعَلَهُ سَمِيرَهُ فِي لَيْلِهِ وَنَهَارِهِ وَتَمَسَّكَ بِهِ وَتَدَبَّرَهُ
هُنَالِكَ تَأْتِيهِ الْحَقَائِقُ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِهَذِهِ
الصِّفَةِ كَانَ فِعْلُهُ مُكَذِّبًا لِقَوْلِهِ كَمَا رُوِيَ أَنَّ عَارِفًا
وَقَعَتْ لَهُ وَاقِعَةٌ فَقَالَ لَهُ صَدِيقٌ لَهُ نَسْتَعِينُ بِفُلَانٍ فَقَالَ
أَخْشَى أَنْ تَبْطُلَ صَلَاتِي الَّتِي تَقَدَّمَتْ هَذَا الْأَمْرَ وَقَدْ
صَلَّيْتُهَا قَالَ صَدِيقُهُ وَأَيْنَ هَذَا مِنْ هَذَا؟ قَالَ لِأَنِّي قُلْتُ
في الصلاة {إياك نعبد وإياك نستعين} فَإِنِ اسْتَعَنْتُ بِغَيْرِهِ كَذَبْتُ
وَالْكَذِبُ فِي الصَّلَاةِ يُبْطِلُهَا وَكَذَلِكَ الِاسْتِعَاذَةُ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ لَا تَكُونُ إِلَّا مَعَ تَحَقُّقِ الْعَدَاوَةِ فَإِذَا
قَبِلَ إِشَارَةَ الشَّيْطَانِ وَاسْتَنْصَحَهُ فَقَدْ كَذَّبَ قَوْلَهُ فَبَطُلَ
ذكره
“Jenis (khasiat) ini dan jenis sebelumnya
(keutamaan Alquran) hanya dapat digunakan oleh orang-orang yang tulus dalam
hati dan niat mereka, yang mempelajari Alquran dalam pikiran dan telinga mereka,
yang membuat hati mereka bekerja dengannya dan tubuh mereka bekerja dengannya,
yang menjadikannya sebagai teman di malam dan siang hari, dan yang berpegang
teguh padanya dan merenungkannya, maka kebenaran-kebenaran akan datang
kepadanya dari segala penjuru. Jika tidak demikian, maka perbuatannya akan
bertentangan dengan perkataannya, sebagaimana diriwayatkan bahwa ada seorang
ulama yang mengalami suatu peristiwa, lalu seorang sahabatnya berkata kepadanya
Ia berkata, “Aku khawatir shalatku yang telah aku lakukan menjadi batal.”
Temannya bertanya, “Dari mana hal itu terjadi?” Ia menjawab, "Karena aku
berkata dalam shalatku, ‘Engkaulah yang kami sembah dan Engkaulah yang kami
tolong,’ dan jika aku menolong orang lain, aku berdusta. Aku berdusta, dan dusta
dalam salat itu membatalkannya. Demikian pula, memohon perlindungan kepada
setan hanya bisa dilakukan dengan keyakinan akan permusuhan (dengan setan),
sehingga jika dia menerima isyarat setan dan meminta nasehat darinya, maka dia
telah mendustakan perkataannya, sehingga penyebutannya menjadi batal.”
Oleh karena itu, khasiat-khasiat yang ada ini
berasal dari orang shalih dan mereka yang memang telah merenungkan dan
mengamalkan isi Alquran, tidak hanya membaca dan kemudian melupakannya.
2. Hadis-Hadis Khasiat Alquran
Hadis yang terkait dengan khasiat Alquran
secara umum ada, dan secara khusus juga ada. Misalnya dalam Shahih
al-Bukhari ada bab tentang Fadha’il al-Qur’an. Isinya antara lain
tentang keutamaan surat al-Fatihah, al-Baqarah, al-Kahfi, al-Fath, al-Ikhlash,
al-Falaq, dan al-Nas. Al-Tirmidzi menambahi beberapa surat yang lain seperti
surat Ali Imran, Yasin, al-Dukhan, al-Mulk, dan al-Zilzalah. Dalam kitab al-Durr
al-Nadhim fi Khawashsh al-Qur’an al-‘Adhim, al-Yafi’i bahkan menyebutkan
semuanya, dari al-Fatihah sampai al-Nas.
Namun riwayat-riwayat rinci, yang ada di luar
tentang Fadha’il al-Qur’an, menurut al-Suyuthi adalah eksperimen para
ulama. Hal ini juga dapat dilihat dalam kitab al-Yafi’i, yang hanya menyebutkan
khasiat ayat atau surat tertentu tanpa menisbatkannya kepada siapapun. Ia hanya
mengatakan “man qara’aha” (siapa yang membacanya) maka akan ini dan itu.
Bahkan di beberapa surat, seperti al-Fath, al-Yafi’i mengutip tentang bagaimana
beberapa ayat dari surat tersebut dituliskan di lingkaran untuk khasiat tertentu
sebagaimana gambar di bawah:
Oleh karena itu, riwayat yang spesifik tentang
ayat-ayat tertentu tidak berasal dari kanjeng Nabi, tapi dari sahabat dan
tabiin hingga ulama sekarang. Jadi riwayat-riwayat yang ada hanya sampai kepada
para ulama yang melakukan eksperimen tersebut. Tentunya eksperimen tersebut
sesuai dengan syarat dan ketentuan sebagaimana disebutkan oleh al-Zarkasyi
sebelumnya.
Hal yang perlu dicatat adalah bahwa praktek pembacaan ayat-ayat tertentu, baik yang disabdakan kanjeng Nabi ataupun diriwayatkan dari para sahabat, tabiin dan ulama lainnya, menjadi suatu kenyataan yang ada di masyarakat. Mereka telah mengamalkannya jauh-jauh hari, baik menuliskan, membaca, ataupun membawa ayat-ayat tertentu, dengan keyakinan yang mereka miliki. Keyakinan ini harus dilihat dari sudut pandang emik, yaitu sudut pandang mereka, bukan para penuduhnya. Keyakinan ini akhirnya menjadi bentuk performatif, yang mungkin isinya tidak sama dengan hadis, yang merupakan bentuk informatif.
Namun lagi-lagi pemaknaan mereka tidak lepas dari teks hadis, yang kemudian dikembangkan, diujicobakan dan kemudian ditularkan kepada yang lain, dengan khasiat yang mereka rasakan. Oleh karena itu, khasiat Alquran ini mempunyai dua dimensi: pertama adalah teks yang menjadi rujukan bagi mereka yang melakukan eksperimen, kedua adalah pribadi mereka yang kemudian dilanjutkan oleh orang lain. Dimensi pertama mungkin lebih obyektif, yang dapat diukur dan dilacak teks hadisnya, walaupun menggunakan dalil-dalil umum. Namun dimensi kedua lebih subyektif, yang hanya bisa diukur oleh sebagian orang karena berdasarkan pengalaman dan eksperimen masing-masing.
