Mazhab Mutaqaddimun dan Muta’akhkhirun
Kritik hadis, utamanya terkait
sanad, berjalan sangat dinamis. Artinya metode dan mazhab kritik sanad tidak
tunggal dan tersebar lintas ruang dan waktu. Kritik ini juga tidak stagnan,
berjalan dari waktu ke waktu hingga sekarang. Hal ini dimulai dari munculnya
kajian sanad yang berkembang dengan pesat di Irak, yang diakibatkan oleh banyak
faktor, mulai dari ketersediaan hadis, pemalsuan hadis, dan lain sebagainya. Di
daerah lain, utamanya Hijaz, kritik ini tidak berkembang karena faktor
sebaliknya. Kritik sanad mulai berkembang menjadi kajian yang penting, dan
terbagi menjadi dua mazhab zaman menurut Hamzah Abdullah al-Mallibari dalam
kitabnya, Nadharat Jadidah fi ‘Ulum al-Hadits.
Pertama adalah mazhab mutaqaddimun,
adalah mereka yang berasal dari fase periwayatan (marhalah riwayah),
yang dimulai dengan masa sahabat hingga akhir abad ke-5 H. Kedua adalah mazhab muta’akhkhirun,
adalah mereka yang berasal dari fase pasca periwayatan (marhalah ma ba’d
al-riwayah), yang dimulai abad ke-6 H. Al-Mallibari memberi contoh bahwa Musnad
Ahmad adalah produk marhalah riwayah karena menyandarkan pada
periwayatan hadis, yaitu sanad dan periwayatan langsung. Sedangkan Tafsir
Ibn Katsir adalah produk dari marhalah ma ba’d al-riwayah karena
menukil dari kitab hadis yang sudah ada.
Mazhab pertama fokus pada perawi
hadis, status dan kritik terhadap hadis yang mereka riwayatkan, sedangkan yang
kedua memelihara dan menjaga kitab yang dibukukan oleh marhalah riwayah, baik
yang mengandung hadis ataupun tidak. Para kritikus mutaqaddimun bersandar
pada kajian ilmu hadis dan sumber utama musthalah-nya, sedangkan muta’akhkhirun
meneruskan mazhab pertama dengan meriwayatkan hadis, menjadikan sistematis, menyimpulkan, dan
meringkas tanpa ada basis maupun inovasi pengetahuan (hlm. 13-16).
Ibn al-Shalah dan Penyederhanaan
Ilmu Hadis
Menurut al-Mallibari, dua mazhab
tersebut mempunyai perbedaan yang mendasar dan signifikan dalam kajian hadis.
Ibn al-Shalah misalnya, dalam Ma’rifat Anwa’ ‘Ulum al-Ḥadits, yang
populer dengan Muqaddimah, hanya mengumpulkan jenis dan permasalahan
ilmu hadis dan menjadikannya sistematis, serta menerangkan istilah yang ada di
dalamnya. Ia dianggap tidak memberikan kritik definisi ilmu hadis yang ada
sebagaimana dilakukan oleh mutaqaddimun seperti Muslim dalam Shahih-nya,
al-Hakim dalam Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Kifayah
fi ‘Ilm al-Riwayah dan lainnya.
Lebih jauh, al-Mallibari mengatakan
bahwa kitab mutaqaddimun berisi kaidah, hukum dan masalah dalam hadis.
Akan tetapi, Ibn al-Shalah hanya menyebutkan istilah dan definisi tanpa kritik
lebih lanjut. Kemungkinan, tujuan Ibn al-Shalah ingin menyederhanakan
macam-macam ilmu hadis untuk dipelajari, khususnya bagi para pemula. Akan
tetapi, Ibn al-Shalah dan mazhab muta’akhkhirun ternyata tidak melakukan
kajian ulang dan mendalam atas istilah dan definisi yang ada (hlm. 16-17).
Meninjau Ulang Perdebatan Istilah
Hasan Shahih
Misalnya adalah istilah hadis hasan yang diungkapkan Ibn
al-Shalah sebagai pasangan dari hadis shahih. Ia mengatakan bahwa hadis hasan
ada dua, yaitu hasan li dzatihi dan hasan li ghairihi. Dua
pembagian adalah kombinasi jenis hadis hasan menurut al-Tirmidzi dan jenis hasan lain
menurut al-Khaththabi. Padahal, menurut al-Mallibari, istilah hasan menurut
mazhab mutaqaddimun bukanlah istilah definitif sebagaimana
diinginkan Ibn al-Shalah, tapi hasan mencakup hadis shahih, bukan
pasangannya (hlm. 21).
Penyusunan istilah hasan shahih secara gramatika ataupun estetika
tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika hasan shahih digunakan
dengan definisi dan pemahaman mazhab muta’akhkhirun. Mereka menganggap
istilah hasan dan shahih tidak bisa menyatu dalam satu hadis. Tapi
kalau dilihat dari mazhab mutaqaddimun
yang memperluas maksud (madlul) hasan shahih, maka tidak ada
masalah. Hasan dalam istilah kritikus (mazhab mutaqaddimun) lebih umum
daripada hasan dalam istilah mazhab muta’akhkhirun.
Mereka menganggap hadis shahih sebagai
hasan, begitu juga dengan hadis yang diterima (maqbul) yang tidak
ditolak (mardud) sebagai hasan. Hal ini berarti hasan adalah
lawan dari munkar, bathil, dan maudlu’. Hal ini sangat jelas bagi
mereka yang mengkaji perkataan kritikus (mazhab mutaqaddimun) dan situasi penggunaan perkataan
tersebut sebagaimana dikatakan al-Dzahabi dan Ibn Hajar (hlm. 23). Al-Mallibari
juga mengkaji enam perkataan al-Bukhari dalam Shahih-nya bahwa istilah hasan
dipergunakan untuk hadis shahih versi mazhab muta’akhkhirun (hlm.
25-27).
Perdebatan Ulang dan Rekonstruksi
Istilah
Di samping istilah hasan shahih, al-Mallibari
juga menekankan pentingnya meninjau ulang berbagai perdebatan yang hidup sejak
lama, tapi kemudian mengkristal di masa Ibn al-Shalah. Ia mengajak untuk
melakukan inventarisasi perdebatan yang ada, dan melakukan rekonstruksi istilah
dalam ilmu hadis. Diantaranya adalah istilah munkar, syadzz, dhahir al-isnad
(banyak dipakai oleh al-Albani, Nuruddin ‘Itr, Abu Ghuddah), istilah ilmu
hadis yang salah difahami di masa kontemporer, metode kritik dua mazhab, ‘illat
hadis, perbedaan istikhraj dan takhrij dan lain sebagainya.
Di kitab yang dikarang setelahnya, yaitu
al-Muwazanah baina al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin fi Tashhih al-Ahadits
wa Ta‘liliha, al-Mallibari menambahkan tema metode yang digunakan kedua
mazhab tersebut, tafarrud, ziyadat al-tsiqah serta menguatkan hadis
dla’if dengan mutaba’at dan syawahid. Tujuannya adalah
untuk melihat bagaimana metode yang digunakan mutaqaddimun dengan muta’akhkhirun,
yang menurutnya punya tashhif definisi yang berlangsung sejak lama. Dengan
mempelajari kitab-kitab mutaqaddimun, dapat difahami bahwa muta’akhkhirun
ternyata banyak melakukan simplifikasi dan penarikan kesimpulan yang tidak
tepat.
Melestarikan Tradisi Kritik dalam
Kajian Hadis
Snober dalam artikelnya, Hadith Criticism in the Levant in the Twentieth Century: From Ẓāhir alIsnād to ‘Ilal al-Ḥadith, menganggap bahwa al-Mallibari, bersama dengan Hatim al-‘Auni dan Abdullah al-Sa’d yang sama-sama Salafi, mengikuti mazhab mutaqaddimun, dengan sebisa mungkin memunculkan bukti (qara’in) dan ‘illat hadis untuk menilai setiap hadis. Dengan demikian, tidak terjadi generalisasi dan kesalahan penilaian hadis sebagaimana dilakukan oleh kelompok dhahir al-isnad (banyak dipakai oleh al-Albani, Nuruddin ‘Itr, Abu Ghuddah).
Tradisi kritik dan dialektika keilmuan harus selalu hidup dalam kajian hadis, agar tidak dianggap nadlija wa ihtaraqa (sempurna dan tidak menerima kritik) ataupun tidak bersinggungan dengan ilmu lain. Kemajuan ilmu lain seperti sejarah, filsafat dan lainnya sangat membantu dalam melihat kembali tinjauan konsep, metode, dan definisi dalam ilmu hadis. Standarisasi kesahihan dan kedhaifan hadis oleh al-Albani membawa pada kajian hadis yang kaku dan tidak berkembang. Apalagi al-Albani ternyata memakai metode dhahir al-isnad dan banyak dikritik oleh ulama hadis lainnya. Tidak heran jika ia melemahkan beberapa hadis shahih al-Bukhari dan Muslim dan sangat jarang menghadirkan bukti dalam kritiknya.