Meninjau Ulang Perdebatan Kritik Hadis: al-Mallibari dan Tinjauan Ulang Kajian Hadis Lima Abad Pertama

Daftar Isi [Tampilkan]



Oleh: Muhammad Akmaluddin

Mazhab Mutaqaddimun dan Muta’akhkhirun

Kritik hadis, utamanya terkait sanad, berjalan sangat dinamis. Artinya metode dan mazhab kritik sanad tidak tunggal dan tersebar lintas ruang dan waktu. Kritik ini juga tidak stagnan, berjalan dari waktu ke waktu hingga sekarang. Hal ini dimulai dari munculnya kajian sanad yang berkembang dengan pesat di Irak, yang diakibatkan oleh banyak faktor, mulai dari ketersediaan hadis, pemalsuan hadis, dan lain sebagainya. Di daerah lain, utamanya Hijaz, kritik ini tidak berkembang karena faktor sebaliknya. Kritik sanad mulai berkembang menjadi kajian yang penting, dan terbagi menjadi dua mazhab zaman menurut Hamzah Abdullah al-Mallibari dalam kitabnya, Nadharat Jadidah fi ‘Ulum al-Hadits.

Pertama adalah mazhab mutaqaddimun, adalah mereka yang berasal dari fase periwayatan (marhalah riwayah), yang dimulai dengan masa sahabat hingga akhir abad ke-5 H. Kedua adalah mazhab muta’akhkhirun, adalah mereka yang berasal dari fase pasca periwayatan (marhalah ma ba’d al-riwayah), yang dimulai abad ke-6 H. Al-Mallibari memberi contoh bahwa Musnad Ahmad adalah produk marhalah riwayah karena menyandarkan pada periwayatan hadis, yaitu sanad dan periwayatan langsung. Sedangkan Tafsir Ibn Katsir adalah produk dari marhalah ma ba’d al-riwayah karena menukil dari kitab hadis yang sudah ada.

Mazhab pertama fokus pada perawi hadis, status dan kritik terhadap hadis yang mereka riwayatkan, sedangkan yang kedua memelihara dan menjaga kitab yang dibukukan oleh marhalah riwayah, baik yang mengandung hadis ataupun tidak. Para kritikus mutaqaddimun bersandar pada kajian ilmu hadis dan sumber utama musthalah-nya, sedangkan muta’akhkhirun meneruskan mazhab pertama dengan meriwayatkan hadis, menjadikan sistematis, menyimpulkan, dan meringkas tanpa ada basis maupun inovasi pengetahuan (hlm. 13-16).

 

Ibn al-Shalah dan Penyederhanaan Ilmu Hadis

Menurut al-Mallibari, dua mazhab tersebut mempunyai perbedaan yang mendasar dan signifikan dalam kajian hadis. Ibn al-Shalah misalnya, dalam Ma’rifat Anwa’ ‘Ulum al-Ḥadits, yang populer dengan Muqaddimah, hanya mengumpulkan jenis dan permasalahan ilmu hadis dan menjadikannya sistematis, serta menerangkan istilah yang ada di dalamnya. Ia dianggap tidak memberikan kritik definisi ilmu hadis yang ada sebagaimana dilakukan oleh mutaqaddimun seperti Muslim dalam Shahih-nya, al-Hakim dalam Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah dan lainnya.

Lebih jauh, al-Mallibari mengatakan bahwa kitab mutaqaddimun berisi kaidah, hukum dan masalah dalam hadis. Akan tetapi, Ibn al-Shalah hanya menyebutkan istilah dan definisi tanpa kritik lebih lanjut. Kemungkinan, tujuan Ibn al-Shalah ingin menyederhanakan macam-macam ilmu hadis untuk dipelajari, khususnya bagi para pemula. Akan tetapi, Ibn al-Shalah dan mazhab muta’akhkhirun ternyata tidak melakukan kajian ulang dan mendalam atas istilah dan definisi yang ada (hlm. 16-17).

 

Meninjau Ulang Perdebatan Istilah Hasan Shahih

Misalnya adalah istilah hadis hasan yang diungkapkan Ibn al-Shalah sebagai pasangan dari hadis shahih. Ia mengatakan bahwa hadis hasan ada dua, yaitu hasan li dzatihi dan hasan li ghairihi. Dua pembagian adalah kombinasi jenis hadis hasan menurut al-Tirmidzi dan jenis hasan lain menurut al-Khaththabi. Padahal, menurut al-Mallibari, istilah hasan menurut mazhab mutaqaddimun bukanlah istilah definitif sebagaimana diinginkan Ibn al-Shalah, tapi hasan mencakup hadis shahih, bukan pasangannya (hlm. 21).

Penyusunan istilah hasan shahih secara gramatika ataupun estetika tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika hasan shahih digunakan dengan definisi dan pemahaman mazhab muta’akhkhirun. Mereka menganggap istilah hasan dan shahih tidak bisa menyatu dalam satu hadis. Tapi kalau dilihat dari mazhab mutaqaddimun yang memperluas maksud (madlul) hasan shahih, maka tidak ada masalah. Hasan dalam istilah kritikus (mazhab mutaqaddimun) lebih umum daripada hasan dalam istilah mazhab muta’akhkhirun.

Mereka menganggap hadis shahih sebagai hasan, begitu juga dengan hadis yang diterima (maqbul) yang tidak ditolak (mardud) sebagai hasan. Hal ini berarti hasan adalah lawan dari munkar, bathil, dan maudlu’. Hal ini sangat jelas bagi mereka yang mengkaji perkataan kritikus (mazhab mutaqaddimun) dan situasi penggunaan perkataan tersebut sebagaimana dikatakan al-Dzahabi dan Ibn Hajar (hlm. 23). Al-Mallibari juga mengkaji enam perkataan al-Bukhari dalam Shahih-nya bahwa istilah hasan dipergunakan untuk hadis shahih versi mazhab muta’akhkhirun (hlm. 25-27).

 

Perdebatan Ulang dan Rekonstruksi Istilah

Di samping istilah hasan shahih, al-Mallibari juga menekankan pentingnya meninjau ulang berbagai perdebatan yang hidup sejak lama, tapi kemudian mengkristal di masa Ibn al-Shalah. Ia mengajak untuk melakukan inventarisasi perdebatan yang ada, dan melakukan rekonstruksi istilah dalam ilmu hadis. Diantaranya adalah istilah munkar, syadzz, dhahir al-isnad (banyak dipakai oleh al-Albani, Nuruddin ‘Itr, Abu Ghuddah), istilah ilmu hadis yang salah difahami di masa kontemporer, metode kritik dua mazhab, ‘illat hadis, perbedaan istikhraj dan takhrij dan lain sebagainya.

Di kitab yang dikarang setelahnya, yaitu al-Muwazanah baina al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin fi Tashhih al-Ahadits wa Ta‘liliha, al-Mallibari menambahkan tema metode yang digunakan kedua mazhab tersebut, tafarrud, ziyadat al-tsiqah serta menguatkan hadis dla’if dengan mutaba’at dan syawahid. Tujuannya adalah untuk melihat bagaimana metode yang digunakan mutaqaddimun dengan muta’akhkhirun, yang menurutnya punya tashhif definisi yang berlangsung sejak lama. Dengan mempelajari kitab-kitab mutaqaddimun, dapat difahami bahwa muta’akhkhirun ternyata banyak melakukan simplifikasi dan penarikan kesimpulan yang tidak tepat.

 

Melestarikan Tradisi Kritik dalam Kajian Hadis

Snober dalam artikelnya, Hadith Criticism in the Levant in the Twentieth Century: From Ẓāhir alIsnād to ‘Ilal al-Ḥadith, menganggap bahwa al-Mallibari, bersama dengan Hatim al-‘Auni dan Abdullah al-Sa’d yang sama-sama Salafi, mengikuti mazhab mutaqaddimun, dengan sebisa mungkin memunculkan bukti (qara’in) dan ‘illat hadis untuk menilai setiap hadis. Dengan demikian, tidak terjadi generalisasi dan kesalahan penilaian hadis sebagaimana dilakukan oleh kelompok dhahir al-isnad (banyak dipakai oleh al-Albani, Nuruddin ‘Itr, Abu Ghuddah).

Tradisi kritik dan dialektika keilmuan harus selalu hidup dalam kajian hadis, agar tidak dianggap nadlija wa ihtaraqa (sempurna dan tidak menerima kritik) ataupun tidak bersinggungan dengan ilmu lain. Kemajuan ilmu lain seperti sejarah, filsafat dan lainnya sangat membantu dalam melihat kembali tinjauan konsep, metode, dan definisi dalam ilmu hadis. Standarisasi kesahihan dan kedhaifan hadis oleh al-Albani membawa pada kajian hadis yang kaku dan tidak berkembang. Apalagi al-Albani ternyata memakai metode dhahir al-isnad dan banyak dikritik oleh ulama hadis lainnya. Tidak heran jika ia melemahkan beberapa hadis shahih al-Bukhari dan Muslim dan sangat jarang menghadirkan bukti dalam kritiknya.

Baca juga:
Labels : #Ilmu Hadis ,#Opini ,#Sejarah ,#Ulasan ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar