Hadis memiliki kedudukan istimewa dalam hukum Islam karena kekuatan
otoritatif yang dimilikinya. Posisi yang demikian penting meletakkan hadis
sebagai salah satu sumber yang harus dijadikan referensi dalam pengambilan dan
penetapan hampir setiap keputusan hukum. Jika otoritas hadis sebagai sumber
hukum telah disepakati oleh hampir semua Muslim, maka tidak demikian dengan
persoalan bagaimana pemahaman hadis tersebut.
Dalam pemikiran Islam klasik, persoalan bagaimana memahami hadis
sebagai sumber yang valid telah menjadi lahan kajian yang luas dan mendalam.
Pada abad-abad pertama Islam telah menjadi pertarungan pemikiran yang sengit
antara ahl al-hadits dan ahl al-ra`yi dalam melihat persoalan
ini. Perdebatan tersebut di satu sisi membawa hukum Islam masa awal dalam
suasana pemikiran yang penuh dinamika dan kreatifitas.
Pada era ini, lahir puluhan aliran hukum dengan beragam corak
kecenderungan metodologis maupun warna kedaerahannya. Sementara di sisi lain,
aneka ragam aliran yang muncul tersebut menyebabkan terjadinya suasana
ketidakpastian hukum sebagai akibat perbedaan dalam memberikan fatwa atau
mengambil keputusan oleh lembaga yudikatif di berbagai daerah. Namun
masing-masing pihak tetap mengklaim putusan hukumnya sebagai valid dan berasal
dari hadis.
Yusuf al-Qaradlawi, seorang ulama kontemporer, memiliki dampak
signifikan terhadap pemahaman umat Islam terhadap hadis Nabi. Dalam tulisan
ini, kita akan menjelajahi pandangannya tentang hakekat asal usul hadis Nabi,
definisi, fungsi, dan otoritas hadis, serta menganalisis implikasinya terhadap
model pemahaman, pembaruan hukum Islam, dan respons terhadap isu-isu aktual.
Hakekat Asal Usul Hadis Nabi
Menurut al-Qaradlawi, hadis Nabi dianggap sebagai wahyu gairu
matluw atau wahyu batin, berbeda dengan Al-Qur’an yang merupakan wahyu
matluw. Ia membedakan antara hadis yang berasal dari wahyu, baik secara
jelas maupun tersembunyi, dengan hadis yang muncul dari ijtihad Nabi. Al-Qaradlawi
mengakui kemungkinan kesalahan dalam ijtihad Nabi, namun meyakinkan bahwa Allah
akan menegur kesalahannya melalui wahyu.
Definisi, Fungsi, dan Otoritas Hadis Nabi
Dalam pemahaman al-Qaradlawi, hadis Nabi berkembang dari makna umum
menjadi makna spesifik. Fungsinya mencakup memperkuat ajaran Al-Qur’an,
menjelaskan ajaran yang masih mujmal, dan menetapkan hukum yang tidak disebut
dalam Al-Qur’an. Al-Qaradlawi menempatkan hadis sebagai penjelas teoritis dan
penetapan praktis terhadap Al-Qur’an, mendudukkannya setelah Al-Qur’an dalam
tata urutan sumber ajaran Islam.
Analisis Terhadap Implikasi Pemikiran Yusuf Al-Qaradlawi
1. Model pemahaman hadis: Al-Qaradlawi menekankan agar pemahaman hadis tidak hanya melihat teksnya, melainkan juga mempertimbangkan berbagai faktor seperti illat dan maqashid al-syari’ah. Ia mendukung pendekatan rasional dalam memahami hadis, memperingatkan terhadap tekstualitas yang membatasi pemahaman.
2. Implikasi terhadap model pembaharuan hukum Islam: Dalam upaya pembaruan hukum Islam, al-Qaradlawi mempraktikkan model eklektik. Ia menggunakan ijtihad tarjihi untuk menyaring pendapat ulama masa lalu dan ijtihad intiqa’i untuk menjawab persoalan baru. Al-Qaradlawi menetapkan batasan agar ijtihad tidak mengubah hukum yang sudah pasti.
3. Implikasi dalam merespon isu aktual hukum Islam era modern:
a) Kedudukan perempuan dalam hukum Islam: Al-Qaradlawi memandang bahwa perempuan dapat berpartisipasi dalam bidang politik, dengan memperhatikan nilai-nilai Islam dalam interaksinya dengan laki-laki. Ia menolak pandangan bahwa Islam melarang perempuan memegang kekuasaan umum dan menekankan konteks ayat-ayat terkait.
b) Hukuman murtad dan kebebasan beragama: Meskipun mengakui sanksi
hukuman berat atas murtad, al-Qaradlawi menekankan bahwa implementasinya
tergantung pada karakter masyarakat Islam yang berdiri di atas akidah tauhid.
Ia mempertahankan hukuman murtad sebagai perlindungan terhadap kepentingan
agama.
Kesimpulan