Makna Ummi Nabi Muhammad di Dalam Syarah Hadis

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Adnan Giffari
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



Kajian Syarah Hadis

Seorang muslim mempercayai bahwa hadis merupakan sebuah landasan hukum sebagai pedoman hidup setelah Al-Qur’an. Dari sisi historis hadis (juga disebut sunnah) merupakan sebuah peristiwa sejarah Nabi berkaitan pada masa peradaban Arab awal. Dengan demikian, Al-Qur’an dan hadis juga bagian dari kehidupan Nabi. Istri Nabi pernah berkata bahwasanya akhlak Nabi adalah Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan seluruh aspek kehidupan Nabi, perkataan, perbuatan, dan ketetapan mengedepankan nilai-nilai Al-Qur’an. Dalam hal ini, mempelajari hadis merupakan salah satu cara untuk menganalisis tentang kehidupan Nabi Muhammad. Pasalnya, hadis terintegrasi dalam kehidupan Nabi.

Beda dengan Al-Qur’an, kajian hadis tidak lepas dari kritik. Jika melihat dari sejarah Islam, hadis adalah salah satu sumber polemik hukum Islam yang mendapat banyak kritikan dari segi masalah kodifikasi, transmisi, dan fiqh hadis. Perbedaan mengenai kritikan Al-Qur’an dan hadis sangat jelas. Sebabnya adalah bahwa Al-Qur’an sudah terjamin dengan keotentisitasnya dan dikatakan dalam QS. al-Hijr ayat 9 bahwa Allah sendiri yang akan menjaga nya. Kodifikasi Al- Qur’an juga dilakukan di zaman dengan Nabi, sehingga dalam periwayatannya jelas mutawatir dan qath’i al- wurud.

Para peneliti hadis kontemporer mampu meneruskan dan mengembangkan dengan rekonstruksi tanpa menghapuskan nilai ajaran hadis. Terdapat beberapa pendekatan dalam menafsirkan hadis diantaranya adalah dari segi bahasa, historis, sosiologis, psikologis dan antropologis. Ada beberapa faktor metode dan pendekatan dalam menafsirkan hadis di zaman sekarang. Pertama, sebagian besar kitab hadis tidak mempunyai syarah. Kitab hadis yang memiliki syarah pada umumnya adalah Kutub al-Sittah. Di samping itu, banyak sekali metode dan penyusunan dalam karya hadis. Sebagian kecil kitab tersebut telah diteliti atau dianalisis maknanya oleh para ahli hadis. Kedua, jika ingin memahami hadis, sebagian orang banyak yang memfokuskan data riwayat dan lebih condong dari sisi gramatikal bahasa dengan model episteme bayaniPemahaman tersebut berdampak negatif. Hal ini disebabkan pemikiran para ulama salaf dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis. Dalam menganalisis hadis juga harus dipahami mengenai waktu, tempat, serta konteks ruang dan zaman. 

Pendapat Para Ulama tentang Makna Ummi

Sebagian ulama memandang bahwa kalimat ummi diartikan sebagai tidak bisa menulis. Hal ini untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab atau Firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad melalui perantara malaikat Jibril, bukan sebuah karangan kalimat atau perkataan yang dibuat oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, gagasan di atas sebagai salah satu alasan Nabi Muhammad adalah seorang ummi hingga akhir hayat beliau, dan alasan tersebut merupakan salah satu sifatnya. Dan ada juga yang menafsirkan bahwa sifat ummi sebagai tidak bisa membaca merupakan salah satu mu’jizat Nabi Muhammad.

Secara bahasa ummi diambil dari kata umm, Ibn Faris mengatakan bahwa kalimat ummi ditunjukan kepada orang yang mengikut keadaan golongan yang tidak dapat menulis. Kemudian al-Ashfihani juga mendefinisikan sesuai QS. Al-Jumu’ah ayat 2 yaitu orang yang tidak mengerti tata cara menulis atau membaca kitab. Adapun pendapat lain juga ada yang mengartikan al-ghaflah (kealpaan) dan al-jahalah (kejahilan) atau orang yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan, sebagaimana QS. al-Baqarah ayat 78: “dan diantara mereka ada yang ummiyyin.

Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Nabi adalah seorang beliau sebagai buta huruf dan tidak membaca sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Ankabut ayat 48, “Dan kamu tidak pernah membaca sesuatu kitab pun dan kamu tidak pernah menulis dengan tangan kananmu. seandainya saja kamu pernah membaca dan menulis benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu.” Kemudian selepas Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Nabi, para ulama mempunyai beberapa pendapat. Pertama, ulama berpendapat Nabi Muhammad SAW tetap dalam keadaan ummi yang tidak mengerti membaca dan menulis. Keadaan tersebut sama sebelum menjadi kenabian. Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW sanggup menulis dan membaca setelah diangkat menjadi Nabi. Dan diantara ulama yang berpendapat demikian ialah Abu Dzar ‘Ubaid bin Ahmad al-Harawi, Abu al-Fath al-Naisaburi, Abu Walid al- Baji, al-Sya’bi, lainnya.

Makna Ummi Menurut al-Baji

Abū al-Walīd al-Bājī membuat pernyataan kontroversial dimana ia mengkritik bahwa Nabi Muhammad tidak bisa menulis. Pia membawa gagasan yang provokatif yaitu “Muhammad tidak bisa menulis dengan baik akan tetapi beliau menulis.” Sifat ummi Nabi yang demikian adalah suatu bentuk mu’jizat. Al-Bājī dalam hadis tentang perdamaian Hudaibiyyah menjelaskan, ada seseorang bertanya: “Kepada siapakah kata ganti dalam kalimat dia yang dimaksud?” Abū al-Walīd al-Bājī menjawab: “Kepada Nabi Muhammad.” Kemudian orang itu bertanya: “Apakah dia (Muhammad) menulis dengan tangannya?” Abū al-Walīd al-Bājī: “Ya, tidakkah kalian melihat di dalam kalimat hadis tersebut “Nabi Muhammad mengambil perjanjian tersebut dan ketika dia tidak tau cara menulis dengan baik, dia menulis.” Abū Bakr ibn al-Sāʾigh seorang sufi, yang pernah mendengarkan kajian tersebut menuduh dan mengklaim Abū al-Walīd al-Bājī seorang kafir. Abū al-Walīd al-Bājī mendapatkan kecaman terhadap masyarakat setelah berita tersebut tersebar.

Abū al-Walīd al-Bājī berargumen atas dasar makna yang tampak dari hal yang memerintahkan Nabi Muhammad sendiri yang menulis perjanjian Hudaibiyyah. Ia menyebutnya dengan teori double movement, yaitu dengan merealisasikan antara masa lalu dan masa sekarang, merealisasikan antara normativitas tradisi dan kebutuhan serta tantangan masyarakat Muslim kontemporer atau penalaran induksi dan deduksi, pertama dari yang khusus (partikuler) kepada yang umum (general) dan kedua dari yang umum kepada yang khusus. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwasanya nabi Muhammad bisa menulis dikemudian hari. Kemudian Abū al-Walīd al-Bājī berpendapat bahwa kemampuan Nabi Muhammad menulis pada perjanjian Hudaibiyyah merupakan suatu kemukjizatan, walaupun tidak sama dengan kemahirannya yang ajaib dalam membaca Al-Qur’an.

Daftar Pustaka

Al-Idlibi, M. (n.d.). Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulamā al-Hadīs al-Nabāwī. Bairut Darul al-Ifaq.

Ali, W. Z. (1998). Konsep Ummi Nabi Muhammad Saw dari Perspektif Al-Qur’an. Jurnal Ushuluddin , 149.

ar-Razi, F. (1354/1935). al-Tafsīr al-Kabīr. Mesir: Beirut.

ath-Thabari, A. J. (1388/1968). Jami’ al-Bayān ´an Ta’wil Al-Qur’an. Mesir: Beirut.

Blecher, J. (2018). Said The Prophet of God: Hadith Commentary across a millennium. Amerika: University of California Press.

Ismail, S. (1994). Hadis Nabi yang tekstual dan Kontekstual. Jakarta Bulan Bintang.

Muhtador, M. (2016). Syarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis. Riwayah: Jurnal Studi Hadis, Vol. 2, No. 2, 259.

Suryadi. (2000). Rekontruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi, Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Baca juga:
Labels : #Mahasiswa ,#Opini ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar