Seorang
muslim mempercayai bahwa hadis merupakan sebuah landasan hukum sebagai pedoman
hidup setelah Al-Qur’an. Dari sisi historis hadis (juga disebut sunnah) merupakan
sebuah peristiwa sejarah Nabi berkaitan pada masa peradaban Arab awal. Dengan demikian,
Al-Qur’an dan hadis juga bagian dari kehidupan Nabi. Istri Nabi pernah berkata
bahwasanya akhlak Nabi adalah Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan seluruh aspek
kehidupan Nabi, perkataan, perbuatan, dan ketetapan mengedepankan nilai-nilai
Al-Qur’an. Dalam hal ini, mempelajari hadis merupakan salah satu cara untuk menganalisis
tentang kehidupan Nabi Muhammad. Pasalnya, hadis terintegrasi dalam kehidupan
Nabi.
Beda dengan
Al-Qur’an, kajian hadis tidak lepas dari kritik. Jika melihat dari sejarah
Islam, hadis adalah salah satu sumber polemik hukum Islam yang mendapat banyak
kritikan dari segi masalah kodifikasi, transmisi, dan fiqh hadis. Perbedaan mengenai
kritikan Al-Qur’an dan hadis sangat jelas. Sebabnya adalah bahwa Al-Qur’an sudah
terjamin dengan keotentisitasnya dan dikatakan dalam QS. al-Hijr ayat 9 bahwa
Allah sendiri yang akan menjaga nya. Kodifikasi Al- Qur’an juga dilakukan di zaman
dengan Nabi, sehingga dalam periwayatannya jelas mutawatir dan qath’i
al- wurud.
Para peneliti hadis kontemporer mampu meneruskan dan mengembangkan dengan rekonstruksi tanpa menghapuskan nilai ajaran hadis. Terdapat beberapa pendekatan dalam menafsirkan hadis diantaranya adalah dari segi bahasa, historis, sosiologis, psikologis dan antropologis. Ada beberapa faktor metode dan pendekatan dalam menafsirkan hadis di zaman sekarang. Pertama, sebagian besar kitab hadis tidak mempunyai syarah. Kitab hadis yang memiliki syarah pada umumnya adalah Kutub al-Sittah. Di samping itu, banyak sekali metode dan penyusunan dalam karya hadis. Sebagian kecil kitab tersebut telah diteliti atau dianalisis maknanya oleh para ahli hadis. Kedua, jika ingin memahami hadis, sebagian orang banyak yang memfokuskan data riwayat dan lebih condong dari sisi gramatikal bahasa dengan model episteme bayani. Pemahaman tersebut berdampak negatif. Hal ini disebabkan pemikiran para ulama salaf dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis. Dalam menganalisis hadis juga harus dipahami mengenai waktu, tempat, serta konteks ruang dan zaman.
Pendapat
Para Ulama tentang Makna Ummi
Sebagian
ulama memandang bahwa kalimat ummi diartikan sebagai tidak bisa menulis.
Hal ini untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab atau Firman Allah
yang diturunkan kepada Muhammad melalui perantara malaikat Jibril, bukan sebuah
karangan kalimat atau perkataan yang dibuat oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan
demikian, gagasan di atas sebagai salah satu alasan Nabi Muhammad adalah
seorang ummi hingga akhir hayat beliau, dan alasan tersebut merupakan
salah satu sifatnya. Dan ada juga
yang menafsirkan bahwa sifat ummi sebagai tidak bisa membaca merupakan
salah satu mu’jizat Nabi Muhammad.
Secara bahasa
ummi diambil dari kata umm, Ibn Faris mengatakan bahwa kalimat ummi
ditunjukan kepada orang yang mengikut keadaan golongan yang tidak dapat
menulis. Kemudian al-Ashfihani juga mendefinisikan sesuai QS. Al-Jumu’ah ayat 2
yaitu orang yang tidak mengerti tata cara menulis atau membaca kitab. Adapun
pendapat lain juga ada yang mengartikan al-ghaflah (kealpaan) dan al-jahalah
(kejahilan) atau orang yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan, sebagaimana QS.
al-Baqarah ayat 78: “dan diantara mereka ada yang ummiyyin”.
Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Nabi adalah seorang beliau sebagai buta huruf dan tidak membaca sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Ankabut ayat 48, “Dan kamu tidak pernah membaca sesuatu kitab pun dan kamu tidak pernah menulis dengan tangan kananmu. seandainya saja kamu pernah membaca dan menulis benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu.” Kemudian selepas Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Nabi, para ulama mempunyai beberapa pendapat. Pertama, ulama berpendapat Nabi Muhammad SAW tetap dalam keadaan ummi yang tidak mengerti membaca dan menulis. Keadaan tersebut sama sebelum menjadi kenabian. Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW sanggup menulis dan membaca setelah diangkat menjadi Nabi. Dan diantara ulama yang berpendapat demikian ialah Abu Dzar ‘Ubaid bin Ahmad al-Harawi, Abu al-Fath al-Naisaburi, Abu Walid al- Baji, al-Sya’bi, lainnya.
Makna
Ummi Menurut
al-Baji
Abū al-Walīd
al-Bājī membuat pernyataan kontroversial dimana ia mengkritik bahwa Nabi
Muhammad tidak bisa menulis. Pia membawa gagasan yang provokatif yaitu “Muhammad
tidak bisa menulis dengan baik akan tetapi beliau menulis.” Sifat ummi Nabi
yang demikian adalah suatu bentuk mu’jizat. Al-Bājī dalam hadis
tentang perdamaian Hudaibiyyah menjelaskan,
ada seseorang bertanya: “Kepada siapakah kata ganti dalam kalimat dia
yang dimaksud?” Abū al-Walīd al-Bājī menjawab: “Kepada Nabi Muhammad.” Kemudian
orang itu bertanya: “Apakah dia (Muhammad) menulis dengan tangannya?” Abū
al-Walīd al-Bājī: “Ya, tidakkah kalian melihat di dalam kalimat hadis tersebut
“Nabi Muhammad mengambil perjanjian tersebut dan ketika dia tidak tau cara
menulis dengan baik, dia menulis.” Abū Bakr ibn al-Sāʾigh seorang sufi, yang
pernah mendengarkan kajian tersebut menuduh dan mengklaim Abū al-Walīd al-Bājī
seorang kafir. Abū al-Walīd al-Bājī mendapatkan kecaman terhadap masyarakat
setelah berita tersebut tersebar.
Abū al-Walīd al-Bājī berargumen atas dasar makna yang tampak dari hal yang memerintahkan Nabi Muhammad sendiri yang menulis perjanjian Hudaibiyyah. Ia menyebutnya dengan teori double movement, yaitu dengan merealisasikan antara masa lalu dan masa sekarang, merealisasikan antara normativitas tradisi dan kebutuhan serta tantangan masyarakat Muslim kontemporer atau penalaran induksi dan deduksi, pertama dari yang khusus (partikuler) kepada yang umum (general) dan kedua dari yang umum kepada yang khusus. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwasanya nabi Muhammad bisa menulis dikemudian hari. Kemudian Abū al-Walīd al-Bājī berpendapat bahwa kemampuan Nabi Muhammad menulis pada perjanjian Hudaibiyyah merupakan suatu kemukjizatan, walaupun tidak sama dengan kemahirannya yang ajaib dalam membaca Al-Qur’an.
Daftar
Pustaka
Al-Idlibi, M.
(n.d.). Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulamā al-Hadīs al-Nabāwī. Bairut Darul
al-Ifaq.
Ali, W. Z.
(1998). Konsep Ummi Nabi Muhammad Saw dari Perspektif Al-Qur’an. Jurnal
Ushuluddin , 149.
ar-Razi, F.
(1354/1935). al-Tafsīr al-Kabīr. Mesir: Beirut.
ath-Thabari,
A. J. (1388/1968). Jami’ al-Bayān ´an Ta’wil Al-Qur’an. Mesir: Beirut.
Blecher, J.
(2018). Said The Prophet of God: Hadith Commentary across a millennium.
Amerika: University of California Press.
Ismail, S.
(1994). Hadis Nabi yang tekstual dan Kontekstual. Jakarta Bulan Bintang.
Muhtador, M. (2016). Syarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis. Riwayah: Jurnal Studi Hadis, Vol. 2, No. 2, 259.
Suryadi. (2000). Rekontruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi, Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.